Saya (59) pensiunan pegawai perusahaan swasta. Sejak aktif bekerja saya teratur memeriksakan kesehatan, sedikitnya sebulan sekali berkonsultasi kepada dokter perusahaan.
Umumnya kesehatan saya baik. Saya tak mempunyai penyakit kencing manis atau darah tinggi. Akan tetapi, pembuluh darah jantung (koroner) saya menyempit dan untuk itu saya harus mengonsumsi obat.
Saya rajin berenang tiga kali seminggu dan berat badan menetap meski usia semakin menua. Dokter perusahaan cukup komunikatif dan saya dapat memanfaatkan waktu konsultasi dengan baik.
Saya juga memanfaatkan waktu menanyakan pencegahan berbagai penyakit. Sampai saat ini saya masih menjalani vaksinasi influenza setiap tahun untuk mencegah penyakit influenza yang sering mengganggu kegiatan sehari-hari.
Sejak dua tahun ini saya merasa ada kelainan pada tubuh saya. Saya merasakan dengan nyata kemampuan seksual semakin menurun. Semula saya menduga ini disebabkan masalah psikologis karena memasuki usia pensiun. Namun, setelah saya mempunyai kegiatan baru yang cukup menyenangkan dan juga memberi penghasilan, keluhan tak berkurang.
Setelah tak dapat lagi menggunakan layanan kesehatan kantor karena telah pensiun, saya berganti pada dokter keluarga yang cukup ramah. Pembiayaan berobat ditanggung asuransi jadi tak memberatkan bagi saya.
Persoalan saya adalah penurunan kemampuan seksual. Hal ini belum pernah saya ungkapkan kepada dokter. Saya mencoba mengobati diri sendiri dengan membeli obat yang diiklankan, tetapi hasilnya tak memuaskan.
Sudah beberapa kali saya berniat mengemukakan keluhan ini kepada dokter, tetapi selalu gagal. Saya malu. Apalagi, di dalam kamar praktik dokter ada perawat perempuan yang keduanya memperlakukan saya sebagai sahabat. Saya tak ingin persoalan pribadi diketahui perawat.
Dapatkah dokter membantu memberi tahu saya bagaimana cara mengemukakan masalah seksual kepada dokter saya? Apakah memang dokter menganggap masalah seksual bukan masalah penting sehingga tak perlu ditanyakan? Menurut pendapat saya, masalah seksual adalah bagian dari kehidupan sehingga seharusnya juga para dokter peduli masalah ini.
Saya sering membaca artikel, mendengarkan perbincangan di radio, atau menonton di televisi mengenai masalah seksual, tetapi sampai saat ini belum pernah mengalami dokter memerhatikan dan menanyakan masalah seksual saya. Terima kasih atas penjelasan dokter.
M di J
Pertanyaan Anda merupakan pertanyaan penting. Saya percaya cukup banyak pembaca mengalami persoalan serupa. Malu mengemukakan masalah seksual, apalagi dihadiri orang ketiga.
Saya setuju dengan pendapat Anda bahwa masalah seksual juga perlu mendapat perhatian dan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Akan tetapi, sama seperti Anda, kebanyakan dokter juga merasa enggan menanyakan persoalan seksual pasien. Enggan dan juga khawatir pasien tak merasa nyaman. Jadi, rupanya topik seksual merupakan topik yang masih sulit dibicarakan secara terbuka, baik oleh dokter maupun oleh pasien.
Kehadiran orang ketiga (biasanya perawat) menyebabkan pasien makin merasa sulit. Bagi dokter, kesulitan yang juga dihadapi adalah menanyakan masalah sensitif tersebut kepada pasien berlawanan jenis dengan dokter. Juga jika jarak umur antara dokter dan pasien cukup jauh. Jadi, tampaknya dalam budaya kita pembicaraan mengenai masalah seksual, termasuk di ruang praktik dokter, belum lazim.
Di sisi lain kita juga bergembira bahwa pendidikan kedokteran telah berusaha mengakomodasi permasalahan dan kebutuhan pasien. Para dokter muda dilatih berbicara mengenai hal sensitif, termasuk masalah seksual, tetapi tetap dengan mempertimbangkan kesiapan penderita dan budaya setempat.
Pasien juga dapat lebih aktif mengemukakan permasalahannya, termasuk masalah seksual, karena umumnya dokter memang tidak rutin membicarakan masalah seks. Dokter umumnya baru akan menanyakan jika ada indikasi, misalnya, apabila pasien menderita diabetes melitus.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan pasien untuk mengatasi hambatan berkomunikasi dengan dokter tentang seks. Jika malu mengungkapkan secara lisan, dapat dibuat keluhan tertulis. Jika dokter membacanya, tentu beliau akan menanggapi.
Keberadaan orang ketiga dalam komunikasi antara dokter dan pasien memang dapat merupakan hambatan. Tujuan adanya orang ketiga (biasanya perawat) adalah untuk membantu dokter dalam pemeriksaan sekaligus juga memberi rasa aman bagi keluarga jika pasien berlawanan jenis dengan dokter. Dengan demikian, dapat dihindari sangkaan tak baik.
Pasien sudah tentu dapat meminta bicara pribadi berdua dengan dokter jika diperlukan. Perawat yang membantu biasanya juga sudah terbiasa dengan hal ini sehingga dia akan memberi kesempatan pasien bicara berdua dengan dokter.
Masalah seks yang Anda keluhkan merupakan masalah umum, terutama pada pasien dengan penyakit kronis atau berusia lanjut. Keluhan tersebut perlu dievaluasi dan beberapa pemeriksaan akan dapat menjuruskan penyebab kemampuan seksual tersebut.
Dewasa ini pemeriksaan penunjang dan terapi untuk disfungsi ereksi di Indonesia cukup lengkap. Saya berharap jika komunikasi mengenai masalah ini dengan dokter Anda sudah terbuka, masalah Anda dapat diatas.
Rubrik Konsultasi Kesehatan asuhan Prof Dr Samsuridjal Djauzi di surat kabar KOMPAS edisi Minggu, Kompas,Minggu, 14/9/2008
No comments:
Post a Comment