Sifat-sifat seperti tidak romantis, penyendiri, tidak becus memimpin adalah karakter orang gemuk yang acap ditampilkan di berbagai media massa, terutama televisi. Mereka sering dijadikan bahan dagelan atau ger-ger-an dengan mengeksploitasi kelebihan lemak tubuhnya.
Padahal dengan menjadikan kelebihan berat badan dan penderita kegemukan sebagai bahan tertawaan sama artinya melukai perasaan sebagian masyarakat yang menyandang "penyakit gemuk". Demikian hasil penelitian terhadap karakter orang gemuk dalam program-program yang ditayangkan hampir semua jaringan televisi di Amerika Serikat, yang dilakukan para peneliti dari The Michigan State University belum lama ini.
Padahal dengan menjadikan kelebihan berat badan dan penderita kegemukan sebagai bahan tertawaan sama artinya melukai perasaan sebagian masyarakat yang menyandang "penyakit gemuk". Demikian hasil penelitian terhadap karakter orang gemuk dalam program-program yang ditayangkan hampir semua jaringan televisi di Amerika Serikat, yang dilakukan para peneliti dari The Michigan State University belum lama ini.
Persoalannya, apa sebenarnya yang salah ketika penonton disuguhi -atau media televisi menyajikan- beberapa bahan tertawaan dari karakter orang gemuk yang biasanya muncul dalam ceritera "edan-edanan" dalam program acara mereka? Mungkin bukan apa-apa , tapi penelitian lain menunjukkan bahwa kegemukan tidaklah sekedar pilihan tidak menjadi kurus.
Terkadang gemuk merupakan sinyal atau isyarat yang mendasari adanya perasaan-perasaan tertentu seperti low self esteem, rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Self esteem adalah konsep individu tentang dirinya sendiri yang meliputi bagaimana perasaannya tentang diri dan tubuhnya serta seberapa jauh kepuasan yang didapatkannya dari tubuh tersebut. Dan ini akan berpengaruh besar terhadap apa pun yang dilakukan oleh individu.
Agaknya, dengan menggambarkan karakter orang kegemukan sebagai seseorang yang tidak diinginkan, orang yang tidak cakap memimpin, atau sesuatu hal yang layak dijadikan bahan banyolan, televisi justru makin menghidupkan sikap low self esteem yang acap menyertai orang gemuk. Misalnya mereka merasa dirinya tidak mungkin menarik dan bisa bersaing dengan tubuh gemuk dan akibatnya menyumbang pada lingkaran setan munculnya perasaan buruk, depresi dan reaksi makan berlebihan.
Bagaimana pun televisi saat ini dinilai bersikap diskriminatif, jaringan televisi masih jarang mengekspos dan menggambarkan apa dan bagaimana sebenarnya karakter orang gemuk dalam kehidupan nyata. Pimpinan riset Bradley S Greenberg dan rekan-rekannya, yang mempresentasikan hasil penelitiannya dalam forum The North American Association for the Study of Obesity di Quebec, menemukan bahwa 25 persen perempuan Amerika mengalami kegemukan, namun sosok dan karakter mereka muncul hanya 3 persen dari keseluruhan karakter dalam televisi. Kecenderungan yang sama terjadi juga pada laki-laki gemuk.
Kalau pun akhirnya karakter orang gemuk muncul di televisi, kebanyakan dalam versi banyolan dan terfokus pada ketidakmampuan mereka dalam banyak hal. Penelitian ini, akhirnya menggarisbawahi agar para produser acara dan para pimpinan stasiun televisi mulai berpikir keras menemukan cara bagaimana membuat penonton televisi tertawa dan menikmati sebuah acara tanpa menyakiti perasaan dan merugikan pihak lain.
Dulu, Gemuk Itu Indah
Di dalam banyak kultur dahulu, gemuk adalah indah. Pada sebagian masyarakat sampai hari ini seperti di pedalaman Irian Jaya atau di dusun Nigeria, perempuan justru menumpuk berat badan agar tampak lebih menarik. Mereka senang melihat lemak yang berlebihan di bokong, suatu kondisi yang dinamakan steatopygia.
Beberapa suku terasing dan pedalaman memberikan makanan terbaik untuk anak perempuan yang mendekati usia perkawinan. Perut yang paling besar menjadikan mereka pengantin yang paling disukai. Itu terjadi di zaman primitif, sebelum manusia mengenal pertanian dan supermarket. Makanan diburu dan digali, bukan ditumbuhkan dan dipelihara.
Pada masa itu, paceklik adalah masa buruk dan gemuk adalah suatu kebaikan. Lemak tubuh mempertahankan nenek moyang kita bertahan hidup –ibaratnya mereka membawa gudang makanannya sendiri- karena lemak adalah cadangan energi murni.
Tetapi sekarang, sebagian besar orang terutama perempuan menyesali bonus ekstra itu, sebagaimana ditulis oleh editor Magazine Health Books "Prevention", dalam buku The Female Body, terutama jika dihadapkan dengan media yang memuat super model dunia Cindy Crawford, Kate Moss atau Claudia Schiffer. Melihat tubuh gantungan pakaian yang dipromosikan sebagai "ideal" sering sekali membuat perempuan merasa menderita dengan definsi kecantikan yang sempit.
Sedikit banyak "ledekan" yang ditampilkan media televisi atau ukuran-ukuran cantik, seperti tinggi, langsing, putih, feminin, seksi yang diciptakan industri kecantikan -yang kemudian mempengaruhi persepsi masyarakat- kerap membuat orang gemuk merasa tersisih dan tidak punya tempat dalam pergaulan sosial. Kehidupan romantis mereka pun dalam beberapa kasus cukup menyedihkan. Seperti diceriterakan seorang perempuan dalam konsultasi psikologi harian Kompas berikut ini:
"Saya bertubuh gemuk dengan berat badan 64 kg dan tinggi badan 154 cm. Sebagai gadis berbadan subur saya sulit menemukan pasangan hidup. Apakah gadis gemuk seperti saya tidak berhak dan tidak pantas untuk bercinta, dicintai atau mencintai lawan jenisnya? Sebenarnya sejak SMA saya sudah punya "gandengan". Ini diteruskan selama kami kuliah, saya banyak berkorban untuk dia. Saya mengetik makalah dan tugas-tugasnya dan sering menemani dia bekerja di laboratorium, tapi apa lacur, sesudah diwisuda, dia melenggang pergi sambil memeluk sekretaris yang ramping."
Entah mana yang berperan terlebih dahulu dalam menciptakan kondisi-kondisi buruk seperti kisah perempuan gemuk di atas. Apakah, media televisi yang menampilkan citra orang gemuk sebagai orang yang tidak diinginkan, hanya layak dimanfaatkan dan dijadikan obyek lucu-lucuan, yang kemudian berakibat besar dalam hal nasib dan penerimaan sosial terhadap orang gemuk.
Ataukah kesalahan industri kecantikan ynag menguasai dan memprovokasi kesadaran publik lewat media massa sehingga membentuk wacana publik bahwa yang indah dan cantik adalah perempuan yang tubuhnya ramping, kulitnya putih dan feminin.
Atau justru konsep invidu rata-rata orang gemuk sendiri terhadap diri dan tubuhnya -misalnya, mereka merasa tidak mungkin menarik dengan tubuh gemuknya- yang justru membuat mereka minder, putus asa, dan mengisolasi diri dari pergaulan sosial. Dan kenyataan inilah yang kemudian "dipotret" dan diangkat oleh media massa.
"Fat is not okay"
Barangkali hal-hal tersebut sudah menjadi lingkaran setan, yang sulit dicari mana ujung pangkalnya. Namun, sikap paling tepat barangkali, para orang gemuk ini tidak usah pusinglah bagaimana media menggambarkan karakter atau seberapa banyak memberikan porsi terhadap orang gemuk dalam tayangan mereka. Atau bagaimana lingkungan sosial memperlakukan orang-orang gemuk. Yang pasti, berdasarkan kenyataan yang ada, kelebihan berat badan atau kegemukan ternyata tidak hanya menjauhkan seseorang dari jodoh, pergaulan sosial atau karir dalam pekerjaan, tetapi mendekatkan pula pada berbagai penyakit.
"Big is okay, but fat is not okay," kata Dewi Hughes, pembawa acara bertubuh gemuk yang cukup digemari itu, suatu saat. Setiap orang memang berhak untuk menjadi gemuk. Sayangnya, menambah daging atau lemak di dalam tubuh Anda, sama saja mengundang sederet penyakit mendatangi Anda, seperti tekanan darah tinggi , sakit jantung, kencing manis, kelainan ginjal, arthritis, kolesterol tinggi, pneumonia, hernia, sulit tidur, sampai menurunnya gairah seksual.
Hasil penelitian menunjukkan, perempuan yang berhasil menurunkan berat badannya ternyata tidak hanya lebih bahagia, percaya diri, tetapi juga menjadi lebih memuaskan kehidupan seksualnya.(Kompas)
No comments:
Post a Comment