Gangguan siklus haid yang sangat pendek atau lebih panjang harus diwaspadai. Apalagi, jika disertai rasa tertekan pada kandung kemih, dubur, maupun organ lain dalam rongga perut. Bisa jadi hal itu merupakan gejala kanker ovarium. Demikian dikemukakan dr. Nasdaldy, SpOG, Onk. dalam ceramah umum tentang kanker ovarium di Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Nasdaldy, selain sel telur, ovarium juga memproduksi hormon reproduksi, seperti estrogen dan progesteron. Jika sel-sel ovarium terganggu, yang paling mudah dirasa adalah haid tak teratur.
Kanker ovarium sebagian besar berbentuk kista berisi cairan maupun padat. Sebelum tampak pembesaran perut, kista menekan organ-organ di daerah perut. "Jika menekan kandung kemih, daya tampung kandung kemih berkurang sehingga orang cenderung kencing (beser). Jika menekan dubur, penderita akan sembelit. Kista juga bisa menekan panggul, pembuluh darah dan saraf, menyebabkan perut bagian bawah tegang dan nyeri, terutama saat senggama," kata Nasdaldy.
Berbeda dengan kanker leher rahim yang mudah dideteksi dengan Pap-smear, kanker ovarium boleh dikatakan silent killer alias pembunuh diam-diam. Pasalnya, ovarium terletak di bagian dalam sehingga tak mudah dideteksi. Sejauh ini belum ada metode deteksi dini yang memuaskan. Akibatnya, 70--80 persen kanker ovarium baru ditemukan pada stadium lanjut dan menyebar (metastesis).
Hampir 50 persen kematian kanker ginekologi disebabkan kanker ovarium. Padahal, angka kejadian hanya 25 persen kanker leher rahim. Menurut data RSKD, kanker ovarium hanya 30--50 kasus per tahun, sedangkan kanker leher rahim sekitar 200 kasus.
Tumor ganas ovarium memang bisa dideteksi lewat petanda (marker) tumor Ca-125. Tetapi, tidak semua sel tumor ganas ovarium memproduksi Ca-125.
Deteksi bisa juga dilakukan dengan ultrasonografi (USG) transvaginal. Meskipun lebih sensitif dibandingkan USG biasa, tetap belum bisa mendeteksi penyebaran sel tumor. "Sering kanker ovarium yang disangka stadium dini, setelah dibedah baru ketahuan menyebar," kata Nasdaldy. Oleh karena itu, pada pemeriksaan rutin Pap-smear,dokter atau bidan selalu melakukan pemeriksaan dalam untuk melihat ada tidaknya benjolan/kista. Jika terasa benjolan, pasien dianjurkan melakukan USG transvaginal untuk memastikannya. Pemeriksaan penunjang lain adalah dengan CT-Scan, MRI, maupun pemeriksaan laboratorium.
Penyebab pasti kanker ovarium belum diketahui. Namun, ada beberapa faktor risiko, antara lain tidak menikah, tidak punya atau sedikit anak, kebiasaan menggunakan talk/bedak tabur di daerah vagina, haid dini, menopause terlambat, terkena radiasi, serta faktor genetik. Sedangkan yang menurunkan risiko adalah pernah hamil dan memunyai anak, menggunakan pil kontrasepsi dan sterilisasi.
Umumnya penderita berusia 40 tahun ke atas, tetapi tidak tertutup kemungkinan anak/remaja bisa terkena, biasanya karena faktor genetik. Partikel bedak tabur, kata Nasdaldy, dari vagina bisa naik ke ovarium dan menempel saat pelepasan sel telur. Karena bersifat karsinogenik (memicu kanker), bedak tabur mendorong sel ovarium membelah tak terkendali.
Pada stadium sangat dini (IA) dan jenis sel tidak terlalu ganas, tindakannya hanyalah operasi, kemudian diikuti perkembangannya. Pada stadium lebih dari IA, karena risiko kambuh lebih besar, operasi dilanjutkan dengan kemoterapi. Radiasi tidak digunakan karena lokasi penyebaran sel kanker terlalu luas. Apalagi, organ di rongga perut, seperti hati dan ginjal, tidak mampu menahan radiasi dosis tinggi. Salah satu penyebab tingginya angka kematian adalah penanganan tidak memadai dari dokter sebelumnya. Yaitu, operasi mempertimbangkan segi kosmetik, tanpa memastikan tumor jinak atau ganas. Agar luka operasi sekecil mungkin, kista hanya dipecah, disedot cairannya, kemudian ditarik kulitnya. "Tindakan mencoblos kista meningkatkan stadium kanker karena sel berserakan dan menyebar ke mana-mana," ujarnya.
Kista Kambuhan
Sementara Onkologi dari Subbagian Onkologi Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Jakarta dr. Sigid Pribudi, SpOG mengatakan kista endometriosis sebenarnya salah satu jenis kista yang tidak ganas dan bukan merupakan tumor sejati. Tetapi, kista ini menyebalkan karena kerap kambuh dan dapat mengganggu kesuburan perempuan. "Dalam kasus infertilitas, 10--15 persen disebabkan kista kambuhan itu," katanya.
Kista endometriosis dapat timbul di indung telur, saluran telur, atau badan rahim. Menurut Sigid, meskipun belum diketahui persis faktor penyebab kekambuhan, dicurigai pengobatan yang tidak tuntas setelah operasi pengambilan kista jadi pemicunya.
Pengobatan yang seharusnya menyertai operasi adalah suntikan hormon Gn-RH analog yang diberikan enam bulan, bukan tiga bulan seperti yang kerap dilakukan. "Kini, ada obat oral baru yang dapat diberikan selama enam bulan, yaitu Antiestrogen Anastrozol," kata Sigid.
Ia mengungkapkan cara kerja Gn-RH adalah menekan hormon di otak yang memberi perintah kepada indung telur untuk berproduksi. Akibatnya, pasien (yang masih produktif) seperti dalam keadaan menopause. Namun, bagi yang menginginkan anak tidak perlu khawatir karena pengobatan itu hanya sementara (6 bulan).
Sebelumnya, angka kekambuhan kista endometriosis cukup tinggi yaitu sedikitnya 50 persen, bahkan sebelum sampai setahun setelah kista diambil. Dengan pengobatan intensif seperti suntikan dan oral, angka kekambuhan bisa ditekan 10--15 persen.
Jika endometriosis menyerang indung telur cukup parah, indung telur terpaksa diambil. Namun, jika masih kecil, kurang dari 5 centimeter, tindakan medis bisa dengan mengambil kistanya saja atau dibakar (kauterisasi). Jika hanya satu indung telur yang diserang, potensi bisa hamil masih ada.
Ia menjelaskan penyebab kista endometriosis masih terus diteliti ahli. Teori lama mengatakan darah menstruasi masuk kembali ke saluran telur (tuba falopii) dengan membawa jaringan (endometrium) dari lapisan dinding rahim, sehingga jaringan tersebut menetap dan tumbuh di luar rahim. Kista endometriosis kerap disebut kista cokelat sebab berisi darah kecokelatan dan sel-sel endometrium.
Meskipun bukan kista ganas, endometriosis perlu diwaspadai karena 26 persen dari kasus kista endometriosis dapat berlanjut menjadi kanker. Sayang, penyebabnya belum diketahui pasti. "Oleh karena itu, sekarang ini ada semacam wacana baru, apakah benar kista endometriosis ini bukan semacam tumor? Hal itu masih menjadi studi ahli," kata dr Sigid. Salah satu penyebab kista endometriosis adalah mutasi genetik. Penyebab yang paling dicurigai adalah polutan, salah satunya asbes. Sebab itu, banyak kasus kista tersebut ditemui pada negara-negara industri. Bahkan, ada studi yang menemukan kasus ini kerap muncul pada perempuan karier di negara industri. "Dunia sudah semakin terpolusi, manusia semakin mengabaikan lingkungannya. Akibatnya, dirinya sendiri yang terkena dampaknya," kata Sigid.
Perempuan yang berisiko cukup tinggi terhadap kista endometriosis adalah perempuan yang dalam keluarganya beriwayat kanker indung telur dan kanker payudara.
Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah memeriksakan diri secara teratur ke dokter. Deteksi dini sangat membantu mengurangi keberlanjutan kista endometriosis menjadi lebih parah.
.
sumber : lampungpost, 8/03/2005
No comments:
Post a Comment